Sepanjang tahun 2006-2007 Bursa Efek Indonesia (BEI) dapat dikategorikan berada dalam bull market. Istilah bull market menggambarkan tingginya ekspektasi dan kepercayaan investor terhadap kinerja masa depan sehingga terjadi peningkatan harga-harga sekuritas. Kemudian pada tahun 2008/2009 terjadi perubahan siklus pasar, harga-harga saham di BEI mengalami penurunan tajam, BEI dapat dikategorikan berada dalam bear market. Istilah bear market menggambarkan terjadinya penurunan harga-harga sekuritas secara terus menerus, meluasnya pesimisme investor dan sentimen negatif di dalam pasar. Dalam bear market, kerugian lebih dalam diantisipasi dengan melakukan penjualan sekuritas, sehingga harga-harga sekuritas terus menerus menurun. Kondisi bear market saat ini yang juga terjadi di seluruh pasar keuangan dunia dengan penyebab utamanya adalah krisis subprime mortgage (krisis yang dipicu oleh surat utang yang berbasis perumahan bagi nasabah berisiko tinggi) di Amerika Serikat.
Growth Stock vs Value Stock
Pembagian karakteristik saham paling umum terbagi dalam dua kategori, yaitu growth stock dan value stock. Yang dimaksud dengan growth stock adalah saham dengan pertumbuhan pendapatannya melebihi rata-rata pasar, juga memiliki price-earnings ratio (PER, rasio antara harga saham dengan pendapatan) dan price-to-book ratio (PBV, rasio antara harga saham dengan nilai buku) melebihi rata-rata pasar. Sedangkan value stock adalah saham yang dipersepsikan memiliki pendapatan dan memberikan dividen yang stabil, juga memiliki PER dan PBV yang rendah. Seringkali value stock didefinisikan sebagai saham yang memiliki harga di bawah harga wajarnya (undervalued).
Pada saat bull market yang sering mendapat perhatian investor adalah saham-saham dalam kategori growth stock, karena dapat memberikan tingkat keuntungan investasi yang tinggi. Saham-saham dalam value stock seringkali diabaikan karena dianggap kurang menguntungkan, juga dipersepsikan membosankan untuk investasi dalam masa-masa peningkatan harga saham. Biasanya peningkatan harga saham value stock dalam bull market lebih rendah dibanding
kan growth stock sehingga menjadi tidak menarik bagi investor. Namun ketika bear market tiba, saham-saham dalam kategori value stock kembali menjadi perhatian investor, sementara saham-saham growth stock biasanya mengalami kejatuhan harga di atas rata-rata pasar.
Dutch Disease
Perhitungan nilai wajar (valuation) saham pada kondisi bull market seringkali keluar dari metode-metode umumnya. Contohnya seperti pada saat dotcom bubble tahun 2000 di Amerika, perusahaan dotcom yang baru saja dibentuk dapat memiliki nilai yang sangat tinggi, walaupun sebenarnya pendapatan perusahaan tersebut belum stabil bahkan belum ada. Adanya ekspektasi yang berlebihan terhadap masa depan perusahaan-perusahaan dotcom memancing untuk terbentuknya banyak sekali perusahaan yang bergerak pada industri yang sama, supply dan demand menjadi tidak seimbang.
Membandingkan dengan kondisi BEI tahun 2006-2007, kenaikan indeks harga saham gabungan (IHSG) banyak didorong oleh peningkatan harga saham-saham sektor komoditas. Pasar memberikan ekspektasi yang tinggi pada sektor tersebut, namun tidak seimbang terhadap sektor lainnya. Dengan kondisi tersebut, jadi teringat dengan istilah Dutch disease, yang pertama kali dipopulerkan oleh majalah The Economist pada tahun 1977. Ducth disease adalah suatu kondisi yang menggambarkan hubungan antara terjadinya booming sektor sumber daya alam, sehingga memberikan revenue yang besar di sektor tersebut, namun di sisi lain sektor manufaktur menjadi kurang kompetitif. Terjadinya kenaikan harga-harga komoditas sumber daya alam yang tajam juga dapat termasuk dalam terminologi Dutch disease. Negara yang memiliki sumber daya alam berlimpah-ruah akan memperoleh pemasukan dalam valuta asing yang sangat banyak, sehingga menyebabkan penguatan mata uang negara tersebut. Paling tidak ada dua efek utama dengan terjadinya Dustch disease, yaitu: 1) terjadinya penurunan daya saing harga di sektor manufaktur, dan 2) terjadinya peningkatan import.
Booming sektor komoditas yang terjadi dapat dikatakan didorong oleh peningkatan harga minyak dunia dan kemudian juga diikuti oleh komoditas yang lain. Bagi Indonesia membawa implikasi terjadinya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar gas yang memberikan beban berat pada sektor manufaktur. Hasil kenaikan BBM dan bahan bakar gas membawa inflasi yang menjadi double digit yang semula prediksi inflasi tahun 2008 hanya di sekitar 6,5%. Dengan kondisi ini banyak industri di Indonesia mengalami kesulitan bahkan mengalami penurunan daya saing yang cukup tajam.
Terindikasi pula terjadi ekspektasi berlebihan tentang peluang pertumbuhan di masa depan beberapa perusahaan di BEI, terutama sektor komoditas, sehingga investor menilai harga-harga saham menjadi terlalu tinggi. Misalnya pada kasus BUMI (PT Bumi Resources), pada saat harga tertingginya dapat mencapai lebih dari Rp 8500, saat ini hanya di kisaran Rp 500, atau terjadi penurunan nilai lebih dari 90%.
0 comments:
Post a Comment