Perspektif jangka pendek telah memenuhi fokus banyak orang di berbagai bidang, termasuk dalam pasar modal dan investasi. Salah satunya adalah keputusan membeli dan menjual saham setelah keluarnya informasi earnings per share (EPS) perusahaan setiap kuartalnya. Fenomena ini diistilahkan sebagai short-termism. Short-termism merujuk CFA Institute, adalah fokus yang berlebihan kepada earnings guidance jangka pendek, dikombinasikan dengan kurangnya perhatian kepada strategi, fundamental, dan pendekatan konvensional untuk penciptaan nilai (value creation) jangka panjang.
Mauboussin (2006) mengungkapkan bahwa meluasnya perspektif jangka pendek melibatkan kombinasi peran dari perusahaan, investor dan manajer investasi. Demikian pula media juga berperan penting, seperti yang diungkapkan oleh Liljeblom dan Vaihekoski (2009). Mereka menemukan bahwa telah terjadi peningkatan exposure oleh media tentang laporan keuangan kuartalan perusahaan dan memberikan dorongan bagi perusahaan untuk meningkatkan kinerja keuangan dari kuartal ke kuartal, sehingga menimbulkan pertanyaan atas perhatian perusahaan tentang masa depan jangka panjangnya.
Investor dan Manajer Investasi
Paling tidak ada dua hal yang menyebabkan short-termism pada investor dan manajer investasi. Pertama, dorongan untuk memperoleh return investasi yang tinggi dalam waktu yang cepat. Hal ini dilakukan dengan melakukan jual-beli saham dalam waktu singkat. Mereka mempercayai bahwa return yang diperoleh akan lebih besar. Padahal, semakin sering bertransaksi, maka biaya yang ditanggung juga semakin tinggi. Banyak penelitian juga telah membuktikan semakin aktif perdagangan memberikan return portofolio investasi yang lebih rendah. Seperti Barber dan Odean (2000) yang meneliti kinerja saham individu di Amerika, dan penelitian Hariyanto (2005) terhadap kinerja reksadana pendapatan tetap di Indonesia.
Kedua, adanya overconfidence oleh investor dan manajer investasi. Banyak investor dan manajer investasi yang percaya bahwa mereka mampu melakukan market timing. Yaitu menempatkan investasi pada tempat dan waktu yang tepat, dengan melakukan prediksi pada harga saham di masa depan. Di lain pihak, berbagai penelitian di luar negeri maupun di Indonesia, telah memberikan hasil yang konsisten bahwa kinerja sekitar 2/3 dari dana kelolaan manajer investasi tidak mampu mengalahkan pasar.
Walau demikian, perilaku jangka pendek dapat memberikan efek likuiditas bagi pasar. Demikian pula keragaman tipe investor dapat mendukung keefisienan pasar (Mauboussin, 2006). Tetapi, yang perlu menjadi perhatian adalah tentunya tujuan investasi yang ingin dicapai. Mendukung apa yang dikatakan Mauboussin, jangan sampai tujuan investasi menjadi terganggu karena strategi dan perilaku investasi yang berakar pada short-termism.
Perusahaan
Graham dkk (2004) menemukan bahwa para eksekutif keuangan di Amerika lebih memilih earnings, terutama EPS, sebagai metrik yang paling penting ditampilkan bagi audiens eksternal perusahaannya. Bahkan mereka menemukan para manajer akan menghindari proyek dengan NPV (net present value) positif apabila dapat menurunkan earnings kuartalan perusahaan. Lebih jauh, mereka menemukan bahwa lebih dari 3/4 manajer lebih memilih untuk melakukan earnings smoothing dibandingkan peningkatan economic value, dengan tujuan untuk menjaga harga saham perusahaan.
Dalam behavioral finance, fenomena ini dikaitkan dengan availability heuristic, yaitu kecenderungan orang untuk mendasari pengukuran pada informasi yang diterima oleh banyak orang. Kontras dengan persepsi para manajer perusahaan, penelitian Hsieh dkk (2006) mengkonfirmasi bahwa earnings smoothing tidak memberikan pengaruh pada valuasi harga saham, return pemegang saham, dan volatilitas harga saham.
Di lain pihak, Bushee (2004) menemukan bahwa perusahaan yang melakukan usaha investor relation dengan melakukan earnings guidance dan berita-berita yang terkait, menarik lebih banyak transient investor. Yaitu investor yang memiliki perputaran portofolio yang tinggi dengan dana yang dialokasikan rendah. Bushee menyarankan agar perusahaan untuk memberikan informasi yang lebih berhubungan dengan value driver yang mendasari bisnis perusahaan.
Dengan demikian komunikasi perusahaan dengan pasar modal menjadi sangat penting. Dobss dkk (2005) menyarankan dua hal bagi perusahaan untuk berkomunikasi dengan pasar modal. Pertama, mengidentifikasi dan melakukan dialog dengan investor yang memang akan memberikan dukungan pada strategi perusahaan, bukan investor yang justru akan menyerang perusahaan. Kedua, manajer perlu memberikan penjelasan kepada analis yang mengikuti perusahaannya tentang gambaran industri dan bagaimana strateginya akan memberikan keuntungan yang sustainable.
Dobss dan Keller (2005) memberikan beberapa metrik yang dapat memberikan gambaran yang lebih baik tentang kinerja keuangan perusahaan dibandingkan EPS. Yaitu metrik seperti ROIC (return on invested capital), economic profit atau EVA (economic value added), dan pertumbuhan. Menurut mereka, EPS memiliki kerentanan terhadap manipulasi. Seperti dengan melakukan pengalokasian biaya pada akun investasi dalam pengembangan, efisiensi biaya yang merusak nilai, share repurchase, akuisisi dan divestasi. Salam Investasi!
Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel
Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel
0 comments:
Post a Comment