Menanggapi Paket Kebijakan Pemerintah untuk Menanggulangi Pelemahan Rupiah
Beberapa waktu yang lalu pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan sebagai upaya untuk meredam pelemahan Rupiah yang berkelanjutan. Menurut pandangan penulis, paket kebijakan tersebut cukup menyentuh permasalahan dasar perekonomian kita. Karena memang, bila bicara mengenai fluktuasi Rupiah, kita tidak bisa bicara hanya dari sisi moneter atau dari kebijakan dan intervensi Bank Indonesia saja.
Pelemahan Rupiah saat ini lebih banyak dipicu oleh fundamental ekonomi kita yang masih lemah, ditengah permintaan ekonomi global yang menurun serts di sisi lain, daya saing ekonomi AS terus menguat. Defisit neraca berjalan kita masih cukup besar. Meski telah mengalami surplus perdagangan, namun ekspor kita justru melemah, yang artinya tidak dapat memanfaatkan pelemahan Rupiah.
Berikut ini adalah beberapa catatan penulis terhadap paket kebijakan pemerintah yang telah diumumkan.
Kebijakan insentif pajak bagi perusahaan asing yang menahan dividen dan melakukan reinvestasi, selain akan membantu menahan keluarnya dollar tetapi juga mendorong realisasi investasi asing dan perluasan investasi di dalam negeri. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah insentif pajak yang diberikan cukup menarik bagi perusahaan asing tersebut. Bila tidak, bisa jadi kebijakan ini tidak akan efektif. Terlebih proses realisasi investasi di Indonesia masih banyak kendala yang perlu dibenahi, meski pemerintah sudah punya pelayanan terpadu satu pintu.
Sementara kebijakan insentif bagi industri galangan kapal dan produk pertanian, hal ini terkait dengan fokus pemerintah saat ini untuk mendorong kedua industri tersebut. Namun efektifitas kebijakan ini akan terasa apabila dibarengi dengan langkah pembenahan industri-industri tersebut, dan hal tersebut tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat.
Untuk kebijakan BMAD (bea masuk anti dumping) dan BMTPS (bea masuk tindakan pengamanan sementara) untuk produk impor yang terindikasi unfair trade akan membantu pengurangan impor dan juga industri dalam negeri yang memiliki produk serupa. Meski demikian, kebijakan ini dapat menjadi masalah bagi ketersediaan bahan baku dengan kualitas bagus dengan harga terjangkau bagi industri berbasis ekspor yang memerlukan. Karena bisa jadi industri dalam negeri belum mampu memproduksi produk olahan dengan kualitas yang sepadan.
Kebijakan pembebasan devisa bagi 30 negara tambahan atau menjadi 45 negara akan mendongkrak jumlah wisatawan yang ada, sehingga penghasilan devisa pun akan naik. Kebijakan ini dapat segera menjadi efektif untuk meningkatkan pundi devisa negara. Catatannya, kesiapan industri pariwisata kita juga perlu segera ditingkatkan.
Kebijakan untuk penggunaan bahan bakar nabati atau biofuel hingga 15% akan membantu dalam mengurangi jumlah impor bahan bakar yang selama ini menjadi salah satu momok defisit neraca berjalan. Selain itu juga dapat membantu penjualan produk kelapa sawit domestik yang sedang menurun permintaannya di pasar global. Tetapi kebijakan ini masih membutuhkan waktu atas kesiapan Pertamina maupun industri kelapa sawit untuk dapat merealisasikannya, sedangkan hingga saat ini penyerapan biofuel pun belum maksimal dari yang telah dimandatkan dengan tingkat presentase yang lebih sedikit.
Kebijakan letter of credit (L/C) untuk produk-produk sumber daya alam (SDA) menjadi penting. Selama ini bisa jadi Indonesia tidak pernah tahu secara pasti berapa jumlah produk SDA yang diekspor, dan kaitannya adalah berapa devisa yang masuk dari ekspor tersebut. Di pasar internasional terdapat indikasi kuat data resmi volume ekspor SDA yang dikeluarkan lembaga resmi berbeda dengan realisasinya, dikarenakan besarnya volume produk ekspor ilegal. Tetapi ini juga berhubungan dengan pembenahan industri yang dilakukan pemerintah. Upaya pemerintah untuk melakukan pendataan perusahaan pertambangan masih belum final.
Kebijakan pembentukan perusahaan reasuransi menjadi sangat penting untuk menahan keluarnya modal dari Indonesia. Selama ini, perusahaan-perusahaan asuransi Indonesia membeli produk-produk reasuransi kepada perusahaan-perusahaan asing. Sedangkan nilai premi reasuransi bisa memakan sebagian besar porsi premi asuransi. Kebjiakan ini memiliki niat pembenahan industri yang baik, tetapi masih akan membutuhkan waktu untuk realisasinya.
Secara umum, paket kebijakan ekonomi pemerintah, baik dari sisi fiskal maupun pembenahan industri cukup baik untuk mendorong fundamental ekonomi Indonesia menjadi lebih baik. Meski demikian, kebijakan ini secara membutuhkan waktu untuk dapat secara efektif berpengaruh kepada penguatan Rupiah.
Rupiah yang dirasa masih berada di atas level psikologis Rp13.000 per USD sepertinya masih akan terus berlanjut. Kebijakan jangka pendek yang efektif dan cepat masih belum terlihat dalam paket kebijakan saat ini, sehingga peran pengendalian Rupiah oleh BI melalui operasi moneternya masih akan lebih besar. Meski demikian, kita perlu menghargai langkah-langkah pemerintah saat ini dalam melakukan pembenahan industri dan ekonomi secara lebih mendasar, meski terdapat tantangan yang besar dalam realisasinya. Di sisi lain, pemerintahan saat ini tersandera oleh permainan politik para elit, sehingga menjadi pemerintahan yang akan sulit untuk efektif dalam menjalankan program-programnya.
Semoga para elit politik dan pejabat pemerintahan semakin menyadari bahwa perannya sebagai negarawan sangat dibutuhkan bangsa ini untuk mendorong peningkatan kualitas pembangunan ekonomi maupun kualitas pembangunan secara keseluruhan.
Labels:
Economics
0 comments:
Post a Comment