Pasar Modal Kita di tengah Ketidakpastian Global




Sejak awal Juni 2015 IHSG telah berada di bawah level psikologis 5.000, melanjutkan penurunan tajam di akhir April 2015. Sejak awal tahun hingga akhir Juni 2015, sebanyak 62% hari perdagangan diwarnai oleh net sell investor asing, meskipun secara kumulatif investor asing masih mencatatkan net buy sebesar Rp3,74 triliun. Namun nilai ini sangat kontras dibandingkan dengan nilai kumulatif net buy investor asing sebesar Rp44,1 triliun di periode yang sama di tahun 2014.

Dalam empat bulan terakhir, dapat dikatakan pasar modal kita mengalami peningkatan tingkat volatilitas yang cukup tajam. Kondisi ini disebabkan oleh pasar keuangan dunia yang sedang mengalami goncangan besar terutama terkait dengan fenomena krisis Yunani dan krisis pasar modal Cina. Kedua krisis ini terjadi di masa ketidakpastian kenaikan suku bunga bank sentral AS masih terus membayangi pasar keuangan global.

Trisula kondisi ekonomi global yang tidak menyehatkan

Menyikapi krisis keuangan global tahun 2007/2008, sistem ekonomi dan keuangan global terus berada dalam rezim suku bunga yang sangat rendah. Hal ini kemudian berkembang menjadi trisula kondisi ekonomi global yang tidak menyehatkan, yaitu suku bunga yang sangat rendah, utang di berbagai negara yang berlebihan, dan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Diperkuat dengan jatuhnya harga minyak, trisula kondisi ekonomi global saat ini berdampak pada semakin meningkatnya ketidakstabilan ekonomi dan keuangan global.

Dalam situasi yang seperti ini, peran bank sentral di seluruh dunia semakin mendominasi di dalam sistem ekonomi dan keuangan. Di sisi lain, peran pemerintah dan lembaga lainnya di berbagai negara semakin tenggelam terutama untuk mendorong kebijakan fiskal yang sehat dan perubahan fundamental ekonomi di berbagai negara. Dengan semakin dekatnya kenaikan suku bunga bank sentral AS, tidak kurang dari 29 bank sentral di dunia telah melonggarkan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan dan atau menangkal terjadinya deflasi, berdasarkan data Bank for International Settlements.

Ancaman krisis Yunani dan pasar modal Cina

Kegagalan Yunani membayar utangnya yang jatuh tempo dan buruknya negosiasi yang dilakukan kepada para kreditornya (bank sentral Eropa, IMF, dan Komisi Eropa) – juga disebut Troika –  telah memperbesar kemungkinan Yunani keluar dari zona Eropa. Di masa ketika Yunani belum mencapai kesepakatan dengan Troika, pasar keuangan global mengalami gejolak dan ketakutan akan dampaknya menyebar dengan luas ke berbagai pasar keuangan global. Pada waktu itu yield obligasi berbagai negara meningkat dengan tajam dan indeks saham di berbagai pasar modal dunia juga mengalami penurunan yang drastis dalam waktu singkat. 

Meskipun saat ini Yunani telah mencapai kesepakatan dengan para kreditornya, bagaimana penyelesaian krisis Yunani menjadi sangat vital bagi keutuhan zona Eropa dan juga akan menjadi acuan bagi negara-negara lain dalam penyelesaian permasalahan utangnya ketika berada dalam posisi Yunani. Oleh karenanya risiko krisis Yunani masih akan membayangi, penyebarannya terutama melalui Spanyol dan Italia, dua negara yang paling rentan terpapar krisis ini.

Di tempat lain, pasar modal Cina dianggap telah mengalami bubble dan kemudian nilai asetnya menurun dengan tajam dalam waktu yang singkat. Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah Cina telah melakukan berbagai langkah antisipasi. Tetapi, di balik kondisi ini terdapat risiko yang dapat mengancam perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina lebih dalam. Apa yang terjadi di pasar modal Cina dikhawatirkan akan mendorong Cina untuk mengalami hard landing dalam ekonominya. Krisis saat ini menambah permasalahan ekonomi Cina menjadi semakin kompleks, setelah sebelumnya mengalami buble di pasar properti dan penyaluran kredit yang berlebihan di sektor tambang.

Perkembangan domestik yang lamban

Perkembangan ekonomi domestik masih belum banyak memberikan sentimen positif bagi pasar modal. Pemerintahan saat ini memang patut dipuji telah memiliki niat untuk mempercepat pembangunan berbagai infrastruktur vital, tetapi realisasi belanja negara yang lemah dan ketidakefektifan pemerintahan membuat program pembangunan berjalan begitu lambat. Harga-harga komoditas dan Rupiah pun masih terus tertekan sehingga membawa ekonomi kita berjalan dalam perlambatan.

Dengan berbagai kondisi global yang masih belum menguntungkan serta perlambatan ekonomi domestik, kami menilai IHSG masih akan cenderung tertekan sebelum adanya sentimen positif dari dalam negeri. Peran pemerintah dalam perbaikan ekonomi menjadi sangat vital, selain peran bank sentral dan Otoritas Jasa Keuangan yang juga perlu melakukan berbagai upaya untuk mendorong pertumbuhan. Kami berharap, semoga pemerintah dapat melakukan terobosan dalam hal kebijakan fiskal dan juga mempercepat realisasi berbagai program pembangunannya.


Guntur Tri Hariyanto, CSA, CRP
PEFINDO Newsletter, Agustus 2015 

0 comments: