Ayo ke Bank?

Anda pernah melihat logo ini?






Kemungkinan besar Anda pernah melihatnya. Entah di bank, ATM, spanduk di jalan raya, mobil-mobil khusus, iklan di televisi atau tempat lain. Logo ini terkait dengan pencanangan gerakan edukasi nasabah bank oleh Bank Indonesia, secara resmi dicanangkan pada hari Minggu, 27 Januari 2008 di Lapangan Monumen Nasional[1]. Paling tidak ada dua tujuan atas digagasnya gerakan ini, yaitu (berdasarkan penjelasan Deputi Gubernur BI, Muliaman Hadad)[2]: 1) terciptanya masyarakat yang mampu mengelola keuangan dengan bijaksana sehingga meningkatkan kualitas hidup, 2) meningkatkan minat maupun pemahaman masyarakat pada produk dan jasa perbankan.

Sebelum membahas lebih lanjut, mari sejenak kita perhatikan topik permasalahan yang paling sering diungkap terkait dengan bank, yaitu tabungan. Bunga tabungan secara rata-rata yang diberikan oleh bank-bank terhadap nasabahnya berada di sekitar 2-4% per tahun. Nilai bunga ini belum mampu untuk menutupi inflasi yang secara rata-rata di Indonesia berkisar lebih dari 5% per tahun. Sehingga banyak orang yang berpikiran nilai uang yang ditabung justru semakin menurun daya belinya. Keberatan lainnya yang cukup banyak dibicarakan[3] adalah tingkat potongan yang dilakukan oleh bank terhadap dana tabungan masyarakat yang sering disebut biaya administrasi. Biaya administrasi nilainya bervariasi setiap bank, secara umum berada di sekitar Rp. 5.000 - Rp. 10.000 tiap bulan, jika disetahunkan nilainya menjadi Rp. 60.000 - Rp. 120.00. Walaupun tingkat biaya adminitrasi ini dapat ditutup dengan saldo minimal tertentu, namun bagi kebanyakan masyarakat Indonesia masih dirasakan cukup berat. Lebih-lebih saat ini masyarakat dibebani oleh kenaikan BBM dan menggilanya inflasi secara global.

Terkait dengan potongan biaya administrasi, bahkan Bank Indonesia dalam brosur kampanye Ayo ke Bank menuliskan[4]: "Jaga saldo tabungan Anda agar bunga yang diperoleh setiap bulanya lebih besar dari biaya administrasi bulanan sehingga tabungan anda tidak berkurang". Sudah menjadi rahasia umum bahwa bank menjadikan biaya administrasi tabungan sebagai fee-based income atau pendapatan bank yang bukan dari bunga. Persepsi yang timbul pada banyak masyarkat adalah tabungan di bank cenderung ditujukan bagi masyarakat dengan tingkat penghasilan tertentu, namun tidak berpihak pada masyarakat pada pengahasilan yang rendah, yang secara statistik merupakan sebagian besar masyarakat Indonesia.

Memang kita tidak bisa hanya melihat tabungan dari tingkat bunga dan potongan biaya administrasi, namun juga fungsinya. Berbagai hal kemudahan telah diciptakan menjadi kesatuan dalam tabungan tersebut, seperti untuk pembayaran berbagai tagihan rutin rumah tangga, transfer uang, transaksi bisnis, dan lain sebagainya. Terlebih saat ini layanan tabungan telah dilengkapi dengan ATM 24 jam dan tersebar di banyak tempat, SMS banking, mobile banking, internet banking, phone banking dan call center. Dengan berbagai fitur-fitur yang telah dikembangkan tabungan mampu memberikan kemudahan bagi penggunanya.

Selain tabungan, yang juga paling sering menjadi isu tentang bank di masyarakat adalah sulitnya memperoleh kredit, terutama bagi usaha kecil dan menengah. Berita terbaru terkait dengan hal ini adalah ketika sejumlah petani mengeluh kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla tentang penerapan sistem pengambilan kredit di bank yang terkadang dinilai mempersulit para petani[5]. Persepsi yang timbul secara umum adalah banyaknya aturan yang memberatkan masyarakat ketika hendak mengambil kredit, dan masyarakat merasa bank-banak hanya memberikan pinjaman kepada pebisnis besar. Kasus lainnya yang cukup menarik dan masih hangat adalah masih enggannya bank-bank di Bireuen untuk memberikan kredit usaha rakyat (KUR) yang telah diprogramkan oleh pemerintah, yang diungkapkan oleh Ir. Bustami Hamid, Kadis Pertanian dan Tanaman Pangan Hortikultura Bireuen[6].

Demikian pula jika menengok kembali tulisan Prof. Mubiyarto yang berjudul "Mengapa Bank Sulit Memberdayakan Ekonomi Rakyat?", diterbitkan pada tahun 2004 di Jurnal Ekonomi Rakyat.[7] Ilustrasi yang menarik diungkapkan oleh Prof. Mubyarto adalah permohonan pinjaman Yulius Seran seorang penyandang cacat yang menjadi pedangan "rupa-rupa", hanya disetujui setengah dari permintaannya, walaupun Yulius adalah orang yang jujur dan patuh mengangsur kreditnya. Demikian pula Prof. Mubyarto memberikan ilustrasi tentang keengganan 2 bank yang ada di Melak (daerah yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi) memberikan kredit kepada pengusaha-pengusaha, dengan ditunjukkannya data tidak seimbangnya peningkatan dana masyarakat yang disimpan dengan jumlah kredit yang diberikan.

Dari penjabaran tentang tabungan dan kredit tersebut, sebenarnya dapat mewakili fenomena yang timbul di masyarakat terkait dengan penggunaan produk dan jasa bank. Paling tidak, dari gambaran tersebut tercermin masih adanya gap yang cukup besar antara dunia perbankan dan masyarakat. Kiranya tujuan program Ayo ke Bank yang digagas Bank Indonesia menjadi sangat relevan.

Bank perlu mengedukasi masyarakat agar melek finansial

Bagi masyarakat dengan penghasilan tinggi, permasalahan melek finansial mungkin tidak terlalu besar. Namun sebaliknya, untuk masyarakat dengan penghasilan rendah, melek finansial menjadi permasalahan yang serius. Dari ilustrasi sebelumnya juga telah tergambarkan, seringkali yang mengalami permasalahan atas produk dan jasa perbankan adalah masyarakat dengan penghasilan rendah.

Dibandingkan dengan masyarakat berpenghasilan tinggi, masyarakat penghasilan rendah seringkali kurang memperoleh informasi yang relevan tentang akses terhadap bank dan kesempatan-kesempatan yang dapat dimanfaatkan demi membangun kesejahteraan keuangan. Ketika beralih kepada institusi keuangan lainnya, yang dihadapi adalah biaya yang lebih tinggi atas jasa yang diperoleh, seperti lembaga ijon yang terkenal digolongan petani di Indonesia.

Berikut ini disajikan data-data dari berbagai negara, mengapa melek finansial menjadi sangat penting[8]:

  • Sebuah survei di Australia menemukan 50% responden tidak dapat mengintepretasikan rekening bank.
  • Sebuah survei di Australia menemukan 30% dari siswa kelas 9 dan 26% siswa kelas 10 tidak dapat menghitung harga termurah saat berbelanja.
  • Sebuah survei di Inggris menemukan bahwa konsumen tidak aktif mencari informasi finansial. Informasi yang mereka terima diperoleh secara kebetulan, misalnya dengan mengambil brosur di bank atau berbicara dengan pegawai di bank.
  • Sebuah survei di Canada menemukan bahwa responden merasa memilih investasi yang tepat itu lebih stress daripada pergi ke dokter gigi.
  • Sebuah survei di Amerika menemukan 4 dari 10 karyawan tidak menabung untuk masa pension.

Melek finansial pada dasarnya adalah memahami uang, bank, kredit, investasi dan bagaimana menggunaka aset-aset keuangan untuk menciptakan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas hidup. Melek finansial menjadi skill wajib yang harus dimiliki oleh setiap rumah tangga. Dengan kemampuan melek finansial rumah tangga dapat mengelola anggaran rumah tangga, membuat perencanaan tabungan, mengelola hutang, dan membuat keputusan investasi strategis yang baik. Dengan demikian rumah tangga memiliki keseimbangan dalam persepektif keuangan jangka pendek dan jangka panjang.

Edukasi melek keuangan dapat dilakukan dengan pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh bank terhadap masyarakat yang masih belum melek finansial. Pelatihan-pelatihan dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan organisasi-organisasi yang ada dalam masyarakat, badan-badan pemerintah yang seringkali terlibat dalam pendidikan masyarkat baik formal maupun non-formal, dan perusahaan-perusahaan tempat masyarakat bekerja.

Agar tingkat keberhasilan yang diperoleh baik, maka pelatihan yang diberikan harus memperhatikan budaya dan kebutuhan masyarakat. Dalam mendisain kurikulum perlu menjawab kebutuhan mendasar masyarakat tentang skill finansial yang perlu dimiliki, demikian pula penyesuaian dengan budaya yang ada, sehingga tidak terjadi pertentangan antara tujuan pelatihan dengan budaya masyarakat.

Bank perlu memberikan pelayanan yang terjangkau dan rutin pada masyarakat berpenghasilan rendah

Masyarakat berpenghasilan rendah merupakan masyarakat dengan jumlah yang sangat besar dan memiliki potensi yang besar juga bagi bank. Masyarakat berpengasilan rendah seringkali tidak terjamah oleh bank, sehingga menjadi tergantung pada jasa keuangan yang terdekat mereka temui dari lokasi aktivitasnya. Apresiasi yang tinggi perlu diberikan pada bank-bank yang mau mendekatkan diri pada masyarakat penghasilan rendah seperti yang telah dilakukan oleh Bank Rakyat Indonesia sejak lama dengan membuka banyak cabang di berbagai pelosok daerah di nusantara, demikian pula pengembangan kredit mikro yang dilakukan Bank Danamon, dan salah satu contoh yang cukup unik adalah layanan kas terapung di Kalimantan Selatan oleh Bank BNI.

Untuk dapat menjamah masyarakat yang jauh lebih luas bank-bank dapat melakukan partnership dengan lembaga-lembaga yang berkembang di masyarakat yang dapat dipercaya. Layanan bank selain terjangkau letaknya juga perlu dilakukan secara terus-menerus, sehingga masyarakat memiliki akses yang mudah bagi kebutuhan keuangannya. Gerakan proaktif bank juga perlu ditingkatkan, misalnya dengan mencontoh pada keberhasilan Grameen Bank yang dimotori oleh peraih Nobel Muhammad Yunus, dengan mendatangi masyarakat berpenghasilan rendah dan memberikan pendidikan dan solusi finansial mereka.

Kondisi selama ini yang terjadi adalah masyarakat kurang mengetahui dan mengikuti inovasi pengembangan produk dan jasa perbankan, oleh karenanya perlu direncanakan suatu kegiatan-kegiatan yang aktif bagi bank untuk mendekatkan diri dengan masyarakat. Tentunya perlu juga keaktifan masyarakat untuk mengenali dan menggunakan produk dan jasa perbankan untuk kepentingan kesejahteraannya. Namun, sekali lagi, masyarakat yang aktif biasanya berhubungan linier dengan kecerdasannya. Oleh karenanya, mencerdaskan masyarakat secara finansial menjadi sangat penting bagi perkembangan perbankan itu sendiri dan perkembangan ekonomi nasional secara keseluruhan.

Keterbukaan informasi, kejujuran pelayanan bank, dan melibatkan masyarakat secara aktif menjadi kunci utama bagi keberhasilan program "Ayo ke Bank".

Jadi, Ayo ke Bank agar semakin sejahtera dan meningkatnya kualitas hidup!.



[1] www.ayokebank.com, "Ayo ke Bank", Agar Masyarakat Melek Keuangan, tertanggal 29 Januari 2008.

[2] www.okezone.com, 2008, BI Canangkan "Ayo ke Bank", tertanggal 22 Januari 2008.

[3] Dapat diperhatikan pada koran-koran terutama pada kolom surat pembaca, atau pun dapat dilihat pada forum-forum di internet.

[4] www.bi.go.or.id, dapat dilihat pada bagian ‘EDUKASI PERBANKAN' dengan judul "Ayo ke Bank: Mengenal Tabungan"

[5] www.kompas.com, Petani Sulsel: Pak Wapres, Ambil Kredit Bank kok Sulit?, tertanggal 9 Agustus 2008.

[6] www.serambionlinenews.com, Kredit Masih Sulit Diperoleh di Bireuen, tertanggal 30 Juni 2008.

[7] www.ekonomirakyat.org

[8] www.youngbizindonesia.com

0 comments: