Kondisi perekonomian Indonesia pasca kuartal kedua diwarnai oleh inflasi setahun terakhir (year-on-year / y.o.y) sebesar 12,14% untuk bulan September, dan 10,47% sepanjang tahun (Januari-September) 2008. Sementara itu nilai suku bunga acuan Bank Indonesia (SBI) ditingkatkan menjadi 9,50%, SBI terus ditingkatkan secara bertahap oleh BI sepanjang tahun ini. Setidaknya telah terjadi lima kali peningkatan SBI dalam tahun ini. Di sisi lain, permasalahan ketatnya likuiditas perbankan nasional juga memberikan sentuhan tersendiri bagi perekonomian saat ini, ekpansi kredit perbankan yang meningkat pesat namun kurang diimbangi dengan penghimpunan dana masyarakat yang memadai.
Dari dunia internasional, sektor keuangan internasional yang mengalami krisis hebat memberikan memberikan efek pada semakin tingginya volatilitas (gejolak) sektor keuangan, perlambatan ekonomi dunia dan permasalahan inflasi global yang merata di hampir seluruh negara. Di tengah gonjang-ganjing pasar keuangan global dan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, perekonomian Indonesia ternyata masih mengalami pertumbuhan yang tinggi. Tercatat pada kuartal kedua 2008 produk domestik bruto (PDB) Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 6,3% y.o.y. Sementara itu untuk kuartal ketiga di prediksi akan tumbuh sebesar 6,4% y.o.y. Namun di sisi lain, harga penurunan harga minyak mentah dunia yang cukup drastis dalam beberapa minggu terakhir memberikan sedikit kelonggaran terhadap tekanan yang dihadapi oleh perekonomian dunia. Pada saat tertingginya, harga minyak mentah dunia sempat menyentuh US $ 147 / barel, namun saat ini bergerak di sekitar US $ 70 / barel. Penurunan harga minyak mentah dunia juga diikuti oleh penurunan beberapa komoditas, terumata komoditas yang berkaitan erat dengan minyak mentah, seperti crude palm oil.
Nilai tukar mata uang rupiah masih dapat dikatakan relatif tahan terhadap tekanan krisis, walaupun pada beberapa minggu terakhir sempat mengalami tekanan hebat. Krisis dunia pada sektor perbankan dan pasar modal yang telah menelan korban bank-bank besar dunia yang ada di Amerika dan Eropa telah merembet ke berbagai negara, termasuk Indonesia, dan menyebabkan kepanikan global bagi iklim investasi dan keuangan. Beberapa langkah penanganan krisis telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, termasuk penyiapan berbagai perangkat untuk mengatasinya. Termasuk oleh Bank Indonesia yang selalu memonitor pergerakan nilai tukar mata uang Rupiah, sehingga tidak terdevaluasi terlalu tajam yang dapat memberikan efek negatif bagi sektor usaha di Indonesia.
Bila menengok perkembangan pasar modal Indonesia, awal Oktober 2008, Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat menghentikan aktivitas perdagangannya selama beberapa hari menyusul kejatuhan indeks harga saham gabungan (IHSG) sebesar lebih dari 10% hanya dalam waktu beberapa jam setelah perdagangan di buka. Saat tulisan ini dibuat IHSG berada di sekitar level 1400-an, paling tidak telah terjadi penurunan nilai lebih dari 50% sejak nilai tertingginya (di atas 2800) pada minggu kedua Januari 2008. Demikian pula nilai transaksi di Bursa Efek Indonesia yang dalam per hari secara rata-rata sempat mencapai 4-5 trilyun rupiah, namun saat ini hanya di sekitar 2-3 trilyun rupiah.
Kinerja Saham Sektor Perkebunan
Gejolak pasar keuangan dunia dan dalam negeri juga memberikan efek bagi sektor perkebunan. Beberapa emiten perkebunan besar yang tercatat dalam bursa seperti PT. Astra Argo Lestari Tbk (AALI), PT London Sumatera Tbk (LSIP), dan PT Bakrie Sumatera Plantation (UNSP) juga terkena imbasnya. Bila dibandingkan dengan awal tahun 2008, hingga harga terakhir pada tanggal 6 Oktober 2008, masing-masing saham tersebut telah mengalami penyusutan harga sebesar 68,33% (AALI), 78,93% (LSIP), dan 81.78% (UNSP).
Bila diperhatikan angka-angka tersebut, ternyata penurunan saham-saham perkebunan jauh lebih besar dibandingkan dengan penurunan IHSG. Kondisi ini sangat kontras jika dibandingkan pada tahun 2006 dan 2007, ketiga saham tersebut mengalami peningkatan harga yang tinggi, dengan sepanjang dua tahun tren harganya selalu meningkat. Namun semenjak Februari 2008 harga saham mereka mengalami tren menurun dari waktu ke waktu.
Penurunan harga-harga saham sektor perkebunan semakin diperparah oleh penurunan harga minyak dunia dan harga-harga komoditas perkebunan, seperti harga CPO. Harga minyak dunia mulai menunjukkan tanda-tanda penurunan paling tidak semenjak bulan Juli 2008. Sementara itu harga CPO sudah mulai menurun semenjak bulan Maret 2008. Berdasarkan data average spot month settlement price of CPO Futures di Bursa Malaysia, semenjak bulan Maret 2008 hingga Oktober 2008 telah terjadi penurunan harga lebih dari 50%.
Secara fundamental, berdasarkan data laporan keuangan kuartal kedua, ketiga perusahaan tersebut memiliki kinerja keuangan yang baik. Masing-masing perusahaan mampu menghasilkan net profit margin (NPM) di atas 20%, sementara ROE itu ROE ketiganya masih lumayan. Bahkan AALI dan LSIP mampu memberikan ROE di atas 25% untuk kuartal kedua tahun 2008. Namun, jika diperhatikan harga saham mereka, hanya AALI yang masih memiliki harga masih cukup jauh dibandingkan dengan nilai buku perusahaan. Sementara harga saham LSIP sudah mendekati nilai bukunya, sedangkan UNSP bahkan telah berada di bawah nilai bukunya.
Prospek Sektor Perkebunan
Sejalan dengan pertumbuhan PDB. subsektor perkebunan mempunyai peran srategis terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi yang dimulai tahun 1997, subsektor perkebunan kembali menujukkan peran strategisnya. Pada saat itu, kebanyakan sektor ekonomi mengalami kemunduran bahkan kelumpuhan dimana ekonomi Indonesia mengalami krisis dengan laju pertumbuhan –13% pada tahun 1998. Dalam situasi tersebut, subsektor perkebunan kembali menunjukkan kontribusinya dengan laju pertumbuhan antara 4%-6% per tahun. Demikian pula pada awal tahun ketika perekonomian Indonesia mulai membaik, laju pertumbuhan sektor perkebunan terus bertumbuh berada di atas pertumbuhan perekonomian negara.
Pertumbuhan perekonomian Indonesia yang terjadi pada kuartal I dan II tahun ini di tengah-tengah pelemahan perekonomian dunia salah satunya didorong oleh peningkatan harga ekspor berbagai komoditas perkebunan, seperti CPO dan turunannya, karet dan produk karet, kopi, teh, dan kakao. Ekspor Indonesia secara total pada periode Januari-Juni 2008 mencapai nilai US $ 70,45 milyar, dengan demikian hingga kuartal II tahun 2008 Indonesia mengalami surplus sebesar US $ 5,4 milyar. Surplus perdagangan ini banyak disebabkan oleh kinerja ekspor produk komoditas, terutama CPO yang mengalami peningkatan harga yang tinggi. Nilai ekspor CPO dan turunannya mencapai US $ 9,16 milyar, nilai ini sama dengan 16,9% nilai total ekspor non-migas Indonesia. Kondisi ini sepertinya akan berubah pada kuartal berikutnya karena telah terjadi penurunan harga yang tajam produk-produk komoditas, demikian pula produk komoditas perkebunan. Namun, dengan memperhatikan perkembangan historis sektor pertanian di Indonesia, hal ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan, mengingat produk komoditas pertanian merupakan bagian dari produk yang berkontribusi langsung bagi ketahanan pangan dunia.
Berbagai peluang ekspor produk komoditas sektor pertanian masih terbuka sangat lebar. Dengan semakin majunya perekonomian China dan India, paling tidak kedua negara ini memiliki tingkat kebutuhan atas produk komoditas perkebunan yang tinggi. Demikian pula adanya kecenderungan kebutuhan energi terbarukan untuk menggantikan energi fosil, memberikan potensi produk komoditas perkebunan Indonesia akan banyak diminati. Hal ini seperti yang telah ditunjukkan oleh beberapa komoditas perkebunan, seperti CPO yang dapat digunakan sebagai bioenergi. Demikian pula pasar Afrika juga memberikan potensi yang luar biasa besar dan belum banyak tergali bagi ekspor produk komoditas perkebunan Indonesia.
Prospek produk komoditas Indonesia akan terus semakin meningkat jika kita mampu untuk meningkatkan nilai tambah produk. Dengan demikian produk yang dihasilkan tidak hanya diekspor mentah-mentah namun sudah diolah menjadi produk jadi yang bernilai tambah tinggi. Bila satu komoditas dapat dijadikan ratusan bahkan ribuan produk turunan yang memiliki nilai tambah tinggi, maka penghasilan yang diperoleh akan semakin tinggi. Selain itu pengaruh volatilitas harga komoditas mentah terhadap pendapatan perusahaan menjadi semakin dapat direduksi. Produk yang memiliki nilai tambah tinggi cenderung tahan terhadap perubahan harga dalam jangka pendek.
Faktor lainnya yang dapat mendukung prospek sektor perkebunan Indonesia tersedianya alternatif pembiayaan non-bank bagi sektor perkebunan, seperti tersedianya bursa berjangka bagi produk komoditas perkebunan. Kabar gembiranya, Bursa Berjangka Jakarta sudah memberikan angin segar untuk menyelenggarakan perdagangan fisik sejumlah komoditas andalan sektor pertanian dan pertambangan Indonesia, di antaranya adalah kopi, karet, kakao, beras dan CPO. Diharapkan ke depannya hal tersebut dapat menjadi pasar berjangka yang maju yang dapat mendorong perkembangan sektor perkebunan Indonesia. Dengan demikian modal dari masyarakat dapat mengalir lebih efisien dan tepat guna bagi perkembangan sektor perkebunan Indonesia, dan sebaliknya pertumbuhan sektor perkebunan Indonesia akan memberikan dampak signifikan bagi perkembangan perekonomian masyarakat.
Maju terus perkebunan Indonesia!
Oleh:
Roy Sembel dan Guntur Tri Hariyanto
Penurunan harga-harga saham sektor perkebunan semakin diperparah oleh penurunan harga minyak dunia dan harga-harga komoditas perkebunan, seperti harga CPO. Harga minyak dunia mulai menunjukkan tanda-tanda penurunan paling tidak semenjak bulan Juli 2008. Sementara itu harga CPO sudah mulai menurun semenjak bulan Maret 2008. Berdasarkan data average spot month settlement price of CPO Futures di Bursa Malaysia, semenjak bulan Maret 2008 hingga Oktober 2008 telah terjadi penurunan harga lebih dari 50%.
Secara fundamental, berdasarkan data laporan keuangan kuartal kedua, ketiga perusahaan tersebut memiliki kinerja keuangan yang baik. Masing-masing perusahaan mampu menghasilkan net profit margin (NPM) di atas 20%, sementara ROE itu ROE ketiganya masih lumayan. Bahkan AALI dan LSIP mampu memberikan ROE di atas 25% untuk kuartal kedua tahun 2008. Namun, jika diperhatikan harga saham mereka, hanya AALI yang masih memiliki harga masih cukup jauh dibandingkan dengan nilai buku perusahaan. Sementara harga saham LSIP sudah mendekati nilai bukunya, sedangkan UNSP bahkan telah berada di bawah nilai bukunya.
Prospek Sektor Perkebunan
Sejalan dengan pertumbuhan PDB. subsektor perkebunan mempunyai peran srategis terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi yang dimulai tahun 1997, subsektor perkebunan kembali menujukkan peran strategisnya. Pada saat itu, kebanyakan sektor ekonomi mengalami kemunduran bahkan kelumpuhan dimana ekonomi Indonesia mengalami krisis dengan laju pertumbuhan –13% pada tahun 1998. Dalam situasi tersebut, subsektor perkebunan kembali menunjukkan kontribusinya dengan laju pertumbuhan antara 4%-6% per tahun. Demikian pula pada awal tahun ketika perekonomian Indonesia mulai membaik, laju pertumbuhan sektor perkebunan terus bertumbuh berada di atas pertumbuhan perekonomian negara.
Pertumbuhan perekonomian Indonesia yang terjadi pada kuartal I dan II tahun ini di tengah-tengah pelemahan perekonomian dunia salah satunya didorong oleh peningkatan harga ekspor berbagai komoditas perkebunan, seperti CPO dan turunannya, karet dan produk karet, kopi, teh, dan kakao. Ekspor Indonesia secara total pada periode Januari-Juni 2008 mencapai nilai US $ 70,45 milyar, dengan demikian hingga kuartal II tahun 2008 Indonesia mengalami surplus sebesar US $ 5,4 milyar. Surplus perdagangan ini banyak disebabkan oleh kinerja ekspor produk komoditas, terutama CPO yang mengalami peningkatan harga yang tinggi. Nilai ekspor CPO dan turunannya mencapai US $ 9,16 milyar, nilai ini sama dengan 16,9% nilai total ekspor non-migas Indonesia. Kondisi ini sepertinya akan berubah pada kuartal berikutnya karena telah terjadi penurunan harga yang tajam produk-produk komoditas, demikian pula produk komoditas perkebunan. Namun, dengan memperhatikan perkembangan historis sektor pertanian di Indonesia, hal ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan, mengingat produk komoditas pertanian merupakan bagian dari produk yang berkontribusi langsung bagi ketahanan pangan dunia.
Berbagai peluang ekspor produk komoditas sektor pertanian masih terbuka sangat lebar. Dengan semakin majunya perekonomian China dan India, paling tidak kedua negara ini memiliki tingkat kebutuhan atas produk komoditas perkebunan yang tinggi. Demikian pula adanya kecenderungan kebutuhan energi terbarukan untuk menggantikan energi fosil, memberikan potensi produk komoditas perkebunan Indonesia akan banyak diminati. Hal ini seperti yang telah ditunjukkan oleh beberapa komoditas perkebunan, seperti CPO yang dapat digunakan sebagai bioenergi. Demikian pula pasar Afrika juga memberikan potensi yang luar biasa besar dan belum banyak tergali bagi ekspor produk komoditas perkebunan Indonesia.
Prospek produk komoditas Indonesia akan terus semakin meningkat jika kita mampu untuk meningkatkan nilai tambah produk. Dengan demikian produk yang dihasilkan tidak hanya diekspor mentah-mentah namun sudah diolah menjadi produk jadi yang bernilai tambah tinggi. Bila satu komoditas dapat dijadikan ratusan bahkan ribuan produk turunan yang memiliki nilai tambah tinggi, maka penghasilan yang diperoleh akan semakin tinggi. Selain itu pengaruh volatilitas harga komoditas mentah terhadap pendapatan perusahaan menjadi semakin dapat direduksi. Produk yang memiliki nilai tambah tinggi cenderung tahan terhadap perubahan harga dalam jangka pendek.
Faktor lainnya yang dapat mendukung prospek sektor perkebunan Indonesia tersedianya alternatif pembiayaan non-bank bagi sektor perkebunan, seperti tersedianya bursa berjangka bagi produk komoditas perkebunan. Kabar gembiranya, Bursa Berjangka Jakarta sudah memberikan angin segar untuk menyelenggarakan perdagangan fisik sejumlah komoditas andalan sektor pertanian dan pertambangan Indonesia, di antaranya adalah kopi, karet, kakao, beras dan CPO. Diharapkan ke depannya hal tersebut dapat menjadi pasar berjangka yang maju yang dapat mendorong perkembangan sektor perkebunan Indonesia. Dengan demikian modal dari masyarakat dapat mengalir lebih efisien dan tepat guna bagi perkembangan sektor perkebunan Indonesia, dan sebaliknya pertumbuhan sektor perkebunan Indonesia akan memberikan dampak signifikan bagi perkembangan perekonomian masyarakat.
Maju terus perkebunan Indonesia!
Oleh:
Roy Sembel dan Guntur Tri Hariyanto
0 comments:
Post a Comment