DEA Sebagai Alternatif Ukuran Kinerja Reksa Dana



Setidaknya telah tiga dekade ini para akademisi dan praktisi telah mencoba untuk melakukan pengukuran kinerja investasi reksa dana dan juga tipe-tipe portfolio lainnya yang dikelola secara profesional. Sebagaimana kita ketahui, dalam tahun-tahun pertama ilmu keuangan, konsentrasi para investor hampir melulu hanya tertuju pada pengukuran rate of return (laju pengembalian) suatu investasi sebagai indikasi seberapa baiknya investasi dilakukan. Pada tahun 1950-an hasil studi Markowitz (1952) dan Tobin (1958) menyediakan alat bagi para investor untuk mengukur risiko dengan menggunakan variabilitas return.

Kemudian pada tahun 1960-an dan 1970-an para peneliti mengajukan beberapa alternatif pengukuran kinerja portfolio dengan berdasarkan pada capital asset pricing model (CAPM). Ukuran-ukuran baru yang mereka tawarkan meliputi dua faktor yang mempengaruhi kinerja, sebagaimana mereka memasukkan komponen tingkat pengembalian (return) investasi dan juga tingkat risiko (risk) yang tepat. Diantara ukuran yang terkenal dan telah sangat umum digunakan dalam mengukur kinerja portfolio adalah indeks Sharpe (Sharpe, 1966), indeks Treynor (Treynor, 1965) dan alpha Jensen (Jensen, 1968), indeks reward to half-variance (Ang, Chua, 1979). Ukuran-ukuran kinerja tersebut secara mendasar sebenarnya mencoba untuk menentukan apakah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para profesional manajer dana telah memberikan tingkat pengembalian (return) tambahan terhadap dana yang dikelolanya dibandingkan dengan benchmark yang pasifnya atau portofolio yang menjadi benchmark yang tidak dikelola secara aktif. Ukuran-ukuran tradisional tersebut telah terbukti sangat berguna, namun sesungguhnya mereka menghadapi permasalahan dalam menentukan hal-hal yang menjadi faktor utama dalam mengukur kinerja portofolio seperti dalam hal identifikasi benchmark yang tepat dan jika memasukkan faktor biaya-biaya.

Jika kita amati perkembangan industri keuangan saat ini, pengukuran dan pembandingan kinerja portfolio yang dikelola secara profesional seperti reksa dana, dana pensiun dan lainnya, telah menjadi isu yang sangat penting bagi para manajer dan investor. Hal demikian telah memberikan tekanan yang besar akan pentingnya suatu ukuran yang kredibel dalam upaya untuk mengukur dan memeringkatkan kinerja portofolio yang dikelola tersebut. Bagi industri keuangan di Indonesia, salah satu pengelolaan protofolio yang populer dan diminati oleh para investor adalah reksa dana, hal ini menurut penulis paling tidak disebabkan oleh beberapa faktor berikut: (1) diversifikasi portofolio yang dapat meminimalkan tingkat risiko investasi, (2) pengelolaan dana yang profesional sehingga investor tidak perlu mengelola sendiri danaya, (3) adanya pilihan-pilihan jenis investasi yang dapat disesuaikan dengan karakter dan tingkat kepentingan investor, dan (4) kemudahan likuiditas bagi investor. Dengan demikian evaluasi kinerja reksa dana dapat digunakan sebagai landasan bagi keputusan investasi investor atau pun menjadi benchmark bagi posisi kinerja reksa dana yang satu dengan yang lainnya. Secara sekilas, jika kita telaah lebih lanjut, perkembangan reksa dana di Indonesia memiliki tren yang terus meningkat, baik jika dilihat dari jumlah reksa dana yang ada, jumlah investor, jumlah unit/saham yang beredar dan nilai aktiva bersih (NAB).

Ukuran kinerja reksa dana yang telah biasanya digunakan atau biasanya disebut sebagai ukuran tradisional, seperti yang telah dijelaskan sebelumya, memiliki permasalahan validitas terutama dalam hal asumsi dasar CAPM. Selain itu faktor yang diikutsertakan dalam ukuran tradisional hanya mencakup tingkat risiko (risk) dan tingkat pengembalian (return), sedangkan sangat masuk akal jika kita berpikir bahwa faktor-faktor lain dapat juga dilibatkan seperti faktor biaya transaksi dan biaya informasi. Salah satu ukuran yang telah dikembangkan oleh para peneliti untuk mengatasi hal tersebut adalah ukuran dengan menggunakan data envelopement analysis (DEA) yang secara mendasar berusaha untuk mengukur tingkat efisiensi reksa dana.

Sejak diperkenalkannya pertama kali oleh Charnes, Cooper dan Rhode pada tahun 1978, para peneliti dalam sejumlah bidang secara cepat menerima metode tersebut dengan melihat keunggulan dan kemudahan metodologi yang digunakan (Greogoriou, 2006). DEA merupakan metodologi non-parametrik yang didasarkan pada linear programming dan digunakan untuk menganalisis fungsi produksi melalui suatu pemetaan frontier produksi (Andersen, 2004). DEA telah banyak digunakan untuk dalam berbagai bidang dimana metode ini berakar dari bidang manajemen operasi yang digunakan untuk memberikan ukuran relatif efisiensi (Galadera dan Silvapulle, 2002; Andersen et. al, 2004). DEA tidak membutuhkan model teoritik seperti CAPM atau model arbitrage pricing theory (APT) sebagai benchmark-nya dan mengukur kinerja relatif suatu reksa dana terhadap reksa dana yang optimal atau yang paling efisien dalam sampel.

DEA mengizinkan hubungan antara multiple inputs dan multiple outputs digambarkan dalam kombinasi yang paling efisien dari input untuk menghasilkan output tertentu dan dapat dapat digunakan dalam menaksir kinerja relatif setiap unit yang membuat keputusan yang dapat mempengaruhi kinerja atau efisiensi. Pembuat keputusan biasanya disebut sebagai decision making units (DMU). DEA dapat digunakan untuk membantu investor dan manajer dalam proses pembuatan keputusan. Input dan output dapat memiliki unit ukuran yang sama tanpa membutuhkan a priori tradeoff antara keduanya (Rouse, 1995). Secara mendasar, DEA membangun suatu efficient frontrier yang terdiri dari kombinasi linier reksa dana yang efisien dari sampel yang digunakan dan menentukan penyimpangan dari efficient frontier, yang merepresentasikan ketidakefisienan kinerja. Penyimpangan dari efficient frontier menunjukkan ketidakefisienan manajerial atau lainnya yang merupakan fungsi dari kegagalan untuk meminimalisasi input dan atau memaksimalkan output.

Menurut Seiford dan Thrall (1990) DEA merupakan teknik yang superior jika dibandingkan dengan teknik lain seperti regresi, karena yang diukur oleh DEA adalah kinerja relatif bukan kinerja rata-rata dan tidak dipengaruhi oleh permasalahan multikolinieritas yang berhubungan dengan model-model regresi berganda. Dengan menggunakan DEA kita dapat memeringkatkan suatu set reksadana dari yang paling efesien hingga yang paling tidak efisien dan menentukan bagaimana kinerja reksa dana terhadap basis relatifnya. Hal ini tentunya memberikan informasi reksa dana mana yang paling baik jika dibandingkan dengan kelompok yang digunakan. DEA juga dapat memberikan informasi faktor-faktor apa saja yang menyebabkan ketidakefisienan reksa dana. Dengan demikian, hal tersebut dapat digunakan oleh manajer reksa dana untuk memperbaiki ketidakefisienan reksa dana, atau berusaha untuk menandingi reksadana yang efisien sehingga reksa dana tersebut dapat menjadi efisien.

Model-model penilaian kinerja reksadana tradisional memiliki beberapa keterbatasan utama dalam aplikasinya, diantaranya penggunaan variabel proksi atau benchmark dari portofolio pasar teoritis yang tidak tepat, pengukuran kinerja reksadana lebih untuk periode jangka panjang daripada jangka pendek, validitas teori CAPM, dan adanya reksadana yang memiliki kinerja secara persisten dalam jangka panjang. Selain itu penilaian kinerja reksadana hanya mengikutsertakan satu ukuran risiko atau mengasumsikan fungsi hubungan tertentu untuk berbagai macam ukuran reksadana.

Diantara ukuran-ukuran kinerja tradisional tidak jelas mana yang merepresentasikan ukuran kinerja yang terbaik, belum ada konsensus selama ini. Masing-masing ukuran tersebut dapat dikatakan valid dalam beberapa asumsi, namun dapat juga diungguli oleh indikator lain dalam konteks yang berbeda, atau untuk investor yang berbeda.

Model penilai kinerja yang didasarkan metode parametrik seperti penilaian dengan analisis regresi mengaproksimasi efisiensi relatif terhadap kinerja rata-rata. Selain itu analisis regresi tidak mampu untuk mengidentifikasi tiap-tiap reksadana selain apakah titik yang diamati berada di atas atau di bawah nilai regresi. Hasil-hasil yang diperoleh dari analisis regresi tidak dapat memberikan kepada manajer investasi suatu pengetahuan bagaimana mereka meningkatkan kinerja.

Hal lain yang utama dalam studi kinerja reksadana adalah, ukuran kinerja tradisional hanya mempertimbangkan komponen risk-return, tidak mempertimbangkan juga komponen lainnya seperti biaya subscription dan biaya redemption yang dibutuhkan oleh suatu kegiatan investasi di reksadana, dan bahkan sesungguhnya keseluruhan return investasi dipengaruhi oleh biaya-biaya tersebut.

Gambar 1 dan Gambar 2 memberikan informasi tentang tingkat efisiensi masing-masing reksa dana yang digunakan dalam contoh sampel perhitungan. Terlihat bahwa reksa dana yang efisien memiliki nilai target yang sama dengan nilai awal sehingga kumpulan reksa dana tersebut membentuk suatu efficient frontieri yang jelas (hitam), yang membedakan dengan kumpulan reksa dana yang tidak efisien (merah). Gambar 1 memberikan informasi bahwa reksa dana yang efisien memiliki nilai annualized return (tingkat pengembalian tahunan) yang lebih tinggi dibandingkan reksa dana yang tidak efisien. Sedangkan Gambar 2 memberikan informasi bahwa reksa dana yang efisien memiliki annualized standard deviation (tingkat fluktuasi tahunan) yang lebih rendah dibandingkan reksa dana yang tidak efisien.


Gambar 1. Hubungan antara nilai target dengan nilai awal, kasus untuk annualized return


Gambar 2. Hubungan antara nilai target dengan nilai awal, kasus untuk annualized standard deviation

0 comments: