Meneropong Kinerja Emiten 2009

Tulisan ini dipublikasikan pada Koran Investor Daily, 18 Januari 2010




Awal tahun 2009 sebenarnya masih merupakan masa-masa kelam bagi pasar keuangan Indonesia. Krisis subprime mortgage yang dimulai pada pertengahan 2007 semakin kelihatan berdampak buruk sepanjang tahun 2008. Bahkan perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) mulai akhir September 2008 hingga pertengah April 2009 menjadi sangat sepi. Volume perdagangan menjadi turun drastis. Rata-rata nilai perdagangan per hari pada waktu itu hanya berada di bawah 1 triliun rupiah. Jauh di bawah biasanya di sekitar 4-5 triliun rupiah.

Namun, setelah melewati masa-masa suram tersebut Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup pada level 2.534. Yang membawa BEI menjadi salah satu pasar modal dengan kinerja yang terbaik di dunia dari tingkat imbal hasil yang diberikan.

Seiring dengan kinerja IHSG, kinerja keseluruhan reksa dana hingga akhir November 2009 juga menunjukkan peningkatan nilai aktiva bersih hingga 47,71%.

Sepanjang 2009, BI rate bergerak terus menurun dari 8,75% sejak awal tahun hingga mencapai level terendahnya 6,5% pada penghujung tahun. Tingkat suku bunga simpanan berjangka rupiah bank-bank berada di kisaran 7%-10%. Dengan didorong oleh terjadinya penurunan harga minyak dunia dan berbagai komoditas lainnya, tingkat inflasi pun terus menurun sepanjang tahun.

Jadi, kondisi ekonomi tahun 2009 secara keseluruhan berdampak positif bagi kinerja emiten-emiten, terlebih bila dibandingkan dengan tahun 2008.

Mari kita teropong lebih jauh tentang kinerja berbagai emiten di BEI berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh CAPITAL PRICE. Penjabaran berikut ini didasari dan dikembangkan dari hasil riset yang ada dalam buku Capital Market Trends (CMT), terutama emiten-emiten non-finansial. Kami harapkan penjabaran yang diberikan dapat mewakili gambaran umum emiten-emiten pada Bursa Efek Indonesia.

Pertumbuhan Keuntungan Emiten

Pada tahun 2008, tingkat konsumsi masyarakat Indonesia yang tinggi telah membantu dalam penyerapan produk dan jasa. Oleh karenanya, rerata pertumbuhan penjualan (sales growth) emiten-emiten dapat mencapai sekitar 30%.

Nilai ini lebih tinggi dibandingkan rerata pertumbuhan penjualan emiten-emiten pada tahun 2007 (merupakan salah satu tahun terbaik dalam kinerja emiten dan pasar modal). Namun, rerata pertumbuhan penjualan yang tinggi ini tidak diikuti dengan pertumbuhan tingkat keuntungan emiten-emiten.

Rerata keuntungan operasional (operating profit) tahun 2008 justru menurun drastis dibandingkan tahun 2007, pertumbuhannya hanya sekitar 7%. Kemungkinan pemicunya adalah tingginya tingkat inflasi pada tahun 2008 yang sempat mencapai dua digit, bahkan tertingginya menyentuh lebih dari 12%.

Selain itu, tingginya harga minyak mentah dunia hingga menembus lebih dari US$ 140 per barel-nya dan beberapa harga komoditas lainnya juga ikut berperan penting. Di lain pihak, kondisi krisis keuangan global juga berdampak luas pada sektor riil di berbagai negara maju. Perekonomian dunia pun menjadi lesu.

Kombinasi berbagai faktor tersebut menyebabkan biaya produksi menjadi jauh lebih mahal. Terlebih industri di Indonesia masih banyak menggantungkan supply material dari luar negeri. Bahkan bottom line profit (keuntungan bersih atau net income) emiten-emiten pada tahun 2008 secara rata-rata mengalami penurunan hingga mencapai sekitar 15% dari tahun sebelumnya.




CAPITAL PRICE telah memperkirakan untuk tahun 2009 terjadi peningkatan rerata pertumbuhan penjualan emiten-emiten yang 25%-35%.

Di sisi lain, rerata pertumbuhan tingkat keuntungan baik dari sisi keuntungan operasi maupun keuntungan bersih diperkirakan akan meningkat cukup tinggi. Belum lagi berbagai faktor seperti rendahnya tingkat inflasi dan menurunnya tingkat suku bunga pinjaman dapat mendukung emiten-emiten lebih efisien dalam struktur biaya produksinya. Diperkirakan rerata pertumbuhan keuntungan operasional dapat mencapai 40%-50%.

Kenaikan Harga Saham 2009: Too Good To Be True?

Kenaikan IHSG yang cukup fantastis sepanjang tahun 2009, yaitu lebih dari 85%, menimbulkan banyak pertanyaan apakah ini too good to be true? Atau apakah ini hanya “bubble” yang kemudian akan terkoreksi tajam kembali pada beberapa waktu ke depan? Seperti yang pernah terjadi pada tahun 2007.




Sebelum membicarakannya lebih lanjut, mari kita bahas tentang tahun 2007 terlebih dahulu. Sesuai hasil riset dalam CMT, CAPITAL PRICE mengidentifikasi hadirnya suatu over expectation (ekspektasi berlebihan) terhadap kinerja pasar emiten-emiten di BEI. Ekspektasi berlebihan ini terkait dengan persepsi berlebihan investor terhadap kinerja keuangan emiten-emiten.

Pada tahun 2006 kondisi pertumbuhan dan kinerja keuangan emiten-emiten sesungguhnya tidak terlalu baik. Namun, tahun 2006 memberikan gambaran bahwa pada tahun 2007 kondisi perekonomian Indonesia akan lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Terlebih, bila dibandingkan dengan tahun 2005 yang menghadirkan inflasi hingga tembus 17% dan kenaikan harga BBM yang cukup tinggi.

Kemudian, ada beberapa hal lain yang memliki pengaruh signifikan. Seperti ekspektasi atas membaiknya kondisi makroekonomi pada tahun 2007, stabilnya nilai tukar rupiah terhadap dollar dalam kisaran antara 9000-9500, serta peningkatan tren IHSG dan harga-harga saham sebagian besar emiten yang terus meningkat sejak tahun 2004/2005. Belum lagi “demam” sektor komoditas yang waktu itu sangat menggoda. Kesemua faktor tersebut akhirnya mengantarkan pasar modal Indonesia pada situasi yang dapat disebut “bubble”.

Bukti adanya “bubble” ini ternyata teridentifikasi melalui hasil penelitian yang dilakukan CAPITAL PRICE dari rerata PER emiten-emiten berada di level 18-19 kali, suatu nilai yang cukup tinggi untuk pasar modal Indonesia saat itu.

Sampai akhir Desember 2009, kinerja pasar emiten-emiten mendekati seperti pada April 2008. Hal ini dapat digunakan sebagai konfirmasi bahwa kenaikan IHSG dan harga saham emiten-emiten adalah kondisi kembalinya pendulum pada posisi yang sebelumnya pernah dicapai. Juga dapat dikatakan bahwa telah terjadi titik balik atas kondisi krisis yang dialami oleh pasar modal Indonesia.

Demikian pula nilai PER 14-15 kali masih dapat dikatakan cukup rasional. Kita bisa melihatnya melalui faktor-faktor pendukung lain seperti optimisme atas pulihnya pasar keuangan dan ekonomi Eropa dan Amerika. Juga, positifnya sentimen perekonomian Indonesia di tahun 2010.

Namun demikian, tentunya kita tetap harus selalu waspada dengan segala kemungkinan yang dapat terjadi, dan berpikir rasional dalam menentukan keputusan investasi. Selamat Berinvestasi!



Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel




0 comments: