Indonesia memiliki 13 produsen ban dalam negeri dengan kapasitas produksi 45 juta ban roda empat dan 32 juta ban roda dua. PT Gajah Tunggal Tbk masih menjadi penguasa pasar ban Indonesia, kemudian diikuti oleh PT Bridgestone Tire Indonesia dan PT Goodyear Indonesia Tbk. Pasar dalam negeri hanya menyerap 25%-30% dari kapasitas produksi, sedangkan sisanya diekspor ke berbagai negara Amerika, Eropa, Asia, Afrika, Timur Tengah dan Australia. Nilai total produk ban Indonesia yang diekspor terus bertumbuh setiap tahunnya. Pada tahun 2006, nilai ekspor mencapai US$ 764,5 juta; tahun 2007 mencapai US$ 885,3 juta; dan tahun 2008 mencapai US$ 1,053 miliar. Sedangkan untuk tahun 2009, nilainya diperkirakan mencapai US$ 1-1,2 miliar.
Penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang diakui dunia internasional dapat mendorong industri ban nasional untuk terus menghasilkan produk yang lebih berkualitas dengan harga yang kompetitif. Di balik cemerlangnya keberhasilan ekspor, industri ban Indonesia masih mengalami permasalahan mendasar terkait persentase impor bahan baku (raw material) pembuatan ban yang hingga saat ini dapat mencapai 60%-70%.
Perkembangan Bisnis dan Keuangan
Perjalanan panjang PT Gajah Tunggal Tbk dan strategi pengembangan yang terus dilakukan, telah membawa perusahaan menjadi produsen ban yang memiliki kekuatan integrasi vertikal pada lini produksinya. Strategi ini dimulai sejak tahun 1991 ketika perusahaan melakukan akuisisi terhadap GT Petrochem Industries, perusahaan yang memproduksi kain ban dan benang nilon. Sampai tahun 1996, perusahaan terus melakukan strategi akuisisi perusahaan yang mendukung supply bahan baku. Namun krisis keuangan Asia memukul perusahaan cukup telak, yang kemudian merubah struktur bisnis perusahaan. Beberapa perusahaan yang sebelumnya diakuisisi kemudian didivestasi sebagai bagian dari program restrukturisasi hutang.
Salah satu kerjasama strategis yang dimiliki perusahaan adalah kerjasama off-take dengan Michelin untuk memproduksi ban, dengan rencana produksi sebesar 5 juta ban per tahun. Selain itu, kerjasama jangka panjang dengan Inou Rubber Company (Jepang) masih terus dilanjutkan dengan model pembayaran royalti atas setiap penjualan yang terjadi. Sedangkan untuk pemasaran dan promosi di Eropa, perusahaan bekerjasama dengan GITI Tire (Europe) BV.
Selama tahun 2006 hingga 2008, penjualan perusahaan terus meningkat setelah sebelumnya terjadi penurunan penjualan pada tahun 2005. Pada tahun 2008, total penjualan perusahaan tercatat sebesar Rp 7,96 triliun, meningkat hampir 20% dari tahun sebelumnya. Pasar ekspor menyumbang sekitar 55% dari total penjualan, dan 45% disumbang dari pasar lokal.
Berdasarkan data Capital Market Trends, tren return on equity (ROE) dan return on assets (ROA) perusahaan mengalami penurunan antara tahun 2003-2008 seiring dengan penurunan laba bersih perusahaan. Sejalan dengan peningkatan penjualan, sejak tahun 2006, rasio total asset turnover (TAT) terus meningkat, walaupun masih belum maksimal (masih di bawah satu). Sementara itu, tingkat hutang perusahaan masih cukup tinggi, ditunjukkan oleh debt-to-assets ratio di atas 80% pada tahun 2008
Financial Risk Exposure
Perusahaan memiliki financial risk exposure yang signifikan terhadap terjadinya krisis pada pasar keuangan, fluktuasi harga komoditas, kurs mata uang dan suku bunga. Semua faktor risiko tersebut memberikan pengaruh signifikan pada kinerja keuangan perusahaan dan kinerja sahamnya. Berdasarkan laporan tahunan 2008, perusahaan mengalami peningkatan biaya material sebesar 38,12% dibandingkan dengan tahun 2007, sehingga total cost of sales meningkat sebesar 24,50% pada tahun 2008. Perusahaan juga mengalami peningkatan beban bunga dan keuangan untuk obligasi sebesar 15,86%. Di lain pihak, perusahaan mengalami peningkatan kerugian kurs mata uang asing pada 2008 hingga mencapai 495,14%, atau senilai Rp 786 miliar. Bahkan nilai total ekuitas perusahaan mengalami penurunan 30,87% dibandingkan tahun 2007.
Risiko pasar modal juga memberikan pengaruh yang cukup besar bagi perusahaan dalam melakukan pendanaan untuk kepentingan operasional dan kebutuhan strategi pertumbuhan perusahaan. Pada tahun 2007, perusahaan melakukan right issue dan penerbitan obligasi, namun krisis pasar keuangan memberikan dampak penurunan nilai saham dan obligasi perusahaan, sehingga menyebabkan perusahaan memutuskan untuk tidak melakukan pendanaan melalui aksi pasar pada tahun 2008.
Berdasarkan informasi yang termuat dalam Capital Market Trends, nilai saham perusahaan sejak tahun 2005 mengalami tren penurunan sejalan dengan penurunan earnings per share (EPS). Walaupun volatilitas harga saham perusahaan termasuk dalam kategori moderat, namun market risk (beta) saham perusahaan berfluktuasi cukup tinggi (antara 0,88-2,11). Sementara itu, persepsi pasar terhadap kinerja perusahaan, baik dari sisi kinerja saat ini maupun kinerja di masa yang akan datang, dinilai cukup rendah dan berada di bawah rata-rata perusahaan-perusahaan dalam pengamatan CAPITAL PRICE.
Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel
0 comments:
Post a Comment