Subsektor perkebunan Indonesia secara rerata memberikan kontribusi bagi PDB sebesar 2%, dengan perkiraan nilai pada tahun 2009 mencapai 112,5 triliun. Berdasarkan data Ditjen Perkebunan, tanaman perkebunan Indonesia didominasi oleh 12 komoditas utama, tiga besar diantaranya adalah kelapa sawit, kelapa, dan karet. Ketiga komoditas tersebut memiliki areal tanam masing-masing sebesar 7,32 juta hektar; 3,80 juta hektar; dan 3,52 juta hektar. Lima komoditas yang mengalami pertumbuhan areal tanam dan jumlah produksi yang paling tinggi selama tahun 2005-2009 adalah kelapa sawit, karet, kakao, tebu, dan kapas. Sementara itu, sepanjang tahun 2005-2009, komoditas yang mengalami pertumbuhan produktivitas tertinggi adalah kelapa sawit, karet, dan kapas.
Untuk pasar ekspor, yang menjadi komoditas unggulan Indonesia diantaranya adalah kelapa sawit, kakao, kopi, karet, dan lada. Sedangkan komoditas untuk kebutuhan dalam negeri diantaranya adalah tebu, teh, kapas, dan cengkeh. Namun masih disayangkan ekspor perkebunan Indonesia sebagian besar masih dalam bentuk komoditas primer, bukan produk yang bernilai tambah tinggi. Krisis global tahun 2008 memberikan pembelajaran tersendiri bagi para pelaku industri perkebunan. Terjadinya penurunan drastis harga-harga komoditas pada waktu itu membuat industri ini menjadi muram, terlebih apabila pendapatan terutama diperoleh dari penjualan komoditas primer.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh perusahaan perkebunan untuk meningkatkan daya saing dan ketahanan bisnisnya, yaitu: peningkatan produktivitas lahan, peningkatan kualitas produksi, mengembangkan produk turunan yang bernilai tambah tinggi, pengembangan bisnis ke arah hilir, dan progam kepedulian lingkungan. Untuk melakukan hal tersebut perusahaan perkebunan membutuhkan komitmen dan dukungan penggunaan teknologi yang mendukung operasional, research & development, dan permodalan yang memadai.
Bisnis Perusahaan
Produk-produk yang dijual oleh PT PP London Sumatra Tbk adalah minyak kelapa sawit (CPO), bibit kelapa sawit, tandan buah segar, benih, produk-produk karet, kakao, dan teh. Produk sawit mendominasi penjualan perusahaan hingga mencapai kisaran 80% dari nilai penjualan.
Perkebunan kelapa sawit perusahaan 90% berada di Sumatera Utara dan Sumatera Selatan, sedangkan sisanya berada di Kalimantan Timur. Perusahaan memiliki perkebunan inti dan perkebunan plasma sebagai penunjang produksinya, masing-masing berjumlah 38 dan 14, dan tersebar di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Sementara itu, 21 pabrik pengolahan produk perkebunan perusahaan juga tersebar di berbagai pulau untuk mengolah produk primer menjadi produk yang bernilai ekonomis lebih tinggi.
Pada bulan April 2009, seluruh perkebunan dan pabrik pengolahan CPO milik perusahaan di Sumatera Utara memperoleh sertifikasi Roundtable on Sustainability Palm Oil. Hal ini memberikan gambaran bahwa perusahaan memberikan komitmen nyata dalam menghasilkan produk yang berkelanjutan dan bersahabat dengan lingkungan.
Perusahaan memberikan perhatian yang tinggi bagi research & development. Ini diwujudkan dengan didirikanya Bah Lias Research Station yang terletak di Sumatera Utara dengan fokus penelitian pada pembibitan, agronomi, dan perlindungan tanaman. Selain itu perusahaan juga membangun kerjasama dengan lembaga penelitian pemerintah Ghana untuk mengembangkan dan mengekplorasi budidaya bibit dan pemuliaan kelapa sawit di Afrika.
Kinerja Perusahaan
Seiring dengan pertumbuhan subsektor perkebunan, penjualan perusahaan terus meningkat setiap tahunnya, ditunjukkan dengan pertumbuhan rerata tahunan tahun 2002-2008 sebesar 23,23%. Pada tahun 2008 perusahaan banyak diuntungkan oleh kenaikan harga-harga komoditas terutama penjualan ekspor. Sementara itu penjualan tahun 2009 menurun sebesar 16,81% dibandingkan tahun sebelumnya, dari 3,85 triliun menjadi 3,20 triliun. Penurunan ini disebabkan oleh terpangkasnya nilai penjualan ekspor hingga mencapai 54,87%.
Pada tahun 2004 perusahaan mengalami ROIC (return on invested capital) negatif, demikian pula laba bersih perusahaan pada tahun tersebut. Kerugian perusahaan pada tahun 2004 disebabkan oleh penyelesaian restrukturisasi hutang. Total hutang perusahaan sebelum restrukturisasi sebesar US$ 228 juta, yang terdiri dari: promissory notes sebesar US$ 20 juta, pinjaman sindikasi bank sebesar US$ 122 juta, dan kontrak berjangka sebesar US$ 86 juta lebih. Sebagian hutang kemudian dikonversi menjadi saham perusahaan.
Setelah tahun 2004 kinerja keuangan perusahaan terus meningkat, ditunjukkan dengan peningkatan ROIC sepanjang tahun 2005 hingga 2008, dari 10,49% hingga mencapai 20,65% pada tahun 2008. Kinerja positif perusahaan juga diiringi dengan komitmen untuk menurunkan tingkat hutangnya, ditandai dengan terus menurunnya debt-to-assets ratio (DAR) menjadi sekitar 35% pada tahun 2008. Untuk diketahui pada tahun 2002 DAR perusahaan mencapai lebih dari 100%.
Seperti pada perusahaan perkebunan yang lain, pada tahun 2008 harga saham perusahaan mengalami penurunan yang sangat tajam, walau kinerja keuangannya justru menunjukkan hal sebaliknya. Sebelum terjadinya krisis, saham perusahaan memberikan average annualized return yang cukup baik, dengan volatilitas harga saham yang cukup stabil. Risiko pasar perusahaan juga cenderung stabil, dengan kinerja keuangan dan potensi perusahaan yang dipersepsikan baik oleh pasar. Salam Investasi!
Oleh:
Guntur Tri Hariyanto dan Roy Sembel
0 comments:
Post a Comment