Di akhir tahun 2015 mendatang, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan
diterapkan sebagaimana telah didahului oleh kesepakatan negara-negara
ASEAN di tahun 2004 silam, atau kurang lebih 10 tahun lalu. Dalam kurun
waktu satu dekade itu, Indonesia masih belum sepenuhnya siap untuk
menghadapi MEA. Seperti digambarkan oleh sikap pesimis Pemerintah
tentang kesiapan Indonesia.
Pemerintah berencana hanya akan membuka sejumlah sektor yang dianggap siap, dan berusaha untuk "melindungi" sektor-sektor yang dianggap belum siap. Berdasarkan ukuran kesiapan yang disampaikan Pemerintah, kesiapan Indonesia hanya sekitar 80an%. Meskipun Pemerintah mengklaim bahwa pencapaian Indonesia di atas rata-rata seluruh negara, namun menjadi keprihatinan bahwa pada kenyataannya daya saing ekonomi dan bisnis negara kita masih meragukan untuk berkompetisi dengaan negara-negara tetangga.
Indonesia memiliki sumber kekayaan alam yang besar, pasar yang besar, dan populasi tenaga kerja muda yang besar pula. Namun demikian, banyak sekali memang pembangunan di hampir semua sektor kita begitu lemah. Terutama misalnya kita lihat pada sektor pendidikan baik formal maupun informal yang diharapkan akan menjadi sumber penghasil tenaga kerja terdidik dan memiliki keterampilan yang tinggi. Lainnya adalah pembangunan infrastruktur yang begitu lemah yang menyebabkan konektivitas, integrasi, dan perkembangan ekonomi masyarakat terhambat serta cenderung terpusat di wilayah tertentu.
Pada dasarnya MEA bersifat sukarela dan hanya akan berjalan apabila ada dua negara yang melakukan kesepakatan di salah satu dari lima pilar. Walau demikian, momentum ini sebenarnya dapat digunakan oleh Indonesia untuk terus membenahi berbagai hal yang lemah dan memperkuat hal-hal yang telah menjadi daya saing utama sejak lama.
Tetapi bila berkaca pada sektor agribisnis, dimana Indonesia merupakan penghasil CPO terbesar di dunia, Indonesia memiliki tingkat produktifitas lahan yang jauh lebih rendah dari Malaysia, industri hilir CPO pun jauh tertinggal di belakang. Kemudian hilirisasi di sektor tambang pun baru mulai digalakkan dan prosesnya pun masih tersendat-sendat. Lainnya, nilai neraca perdagangan Indonesia dengan negara ASEAN justru mengalami defisit sejak tahun 2012 yang memberikan gambaran lemahnya daya saing produk dan jasa Indonesia walau hanya di tingkat regional.
Berkaca pada kenyataan seperti yang telah disebutkan, saya mengajak untuk semua pihak ikut berperan serta dalam memperkuat daya saing bangsa kita. Apabila setiap individu, perusahaan, organisasi, dan semua komponen masyarakat secara aktif melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas diri, tentunya hal tersebut dapat berkontribusi bagi peningkatan daya saing negara. Walau tentunya peran Pemerintah akan sangat signifikan bagi hal ini, terlebih bila terkait dengan kebijakan dan peraturan. Semoga dengan keaktifan seluruh komponen masyarkat, Pemerintah dapat termotivasi untuk ikut mendukung dan mendorong iklim yang lebih kondusif bagi peningkatan kemampuan bangsa untuk dapat berkompetisi dan berprestasi di kancah global.
Pemerintah berencana hanya akan membuka sejumlah sektor yang dianggap siap, dan berusaha untuk "melindungi" sektor-sektor yang dianggap belum siap. Berdasarkan ukuran kesiapan yang disampaikan Pemerintah, kesiapan Indonesia hanya sekitar 80an%. Meskipun Pemerintah mengklaim bahwa pencapaian Indonesia di atas rata-rata seluruh negara, namun menjadi keprihatinan bahwa pada kenyataannya daya saing ekonomi dan bisnis negara kita masih meragukan untuk berkompetisi dengaan negara-negara tetangga.
Indonesia memiliki sumber kekayaan alam yang besar, pasar yang besar, dan populasi tenaga kerja muda yang besar pula. Namun demikian, banyak sekali memang pembangunan di hampir semua sektor kita begitu lemah. Terutama misalnya kita lihat pada sektor pendidikan baik formal maupun informal yang diharapkan akan menjadi sumber penghasil tenaga kerja terdidik dan memiliki keterampilan yang tinggi. Lainnya adalah pembangunan infrastruktur yang begitu lemah yang menyebabkan konektivitas, integrasi, dan perkembangan ekonomi masyarakat terhambat serta cenderung terpusat di wilayah tertentu.
Pada dasarnya MEA bersifat sukarela dan hanya akan berjalan apabila ada dua negara yang melakukan kesepakatan di salah satu dari lima pilar. Walau demikian, momentum ini sebenarnya dapat digunakan oleh Indonesia untuk terus membenahi berbagai hal yang lemah dan memperkuat hal-hal yang telah menjadi daya saing utama sejak lama.
Tetapi bila berkaca pada sektor agribisnis, dimana Indonesia merupakan penghasil CPO terbesar di dunia, Indonesia memiliki tingkat produktifitas lahan yang jauh lebih rendah dari Malaysia, industri hilir CPO pun jauh tertinggal di belakang. Kemudian hilirisasi di sektor tambang pun baru mulai digalakkan dan prosesnya pun masih tersendat-sendat. Lainnya, nilai neraca perdagangan Indonesia dengan negara ASEAN justru mengalami defisit sejak tahun 2012 yang memberikan gambaran lemahnya daya saing produk dan jasa Indonesia walau hanya di tingkat regional.
Berkaca pada kenyataan seperti yang telah disebutkan, saya mengajak untuk semua pihak ikut berperan serta dalam memperkuat daya saing bangsa kita. Apabila setiap individu, perusahaan, organisasi, dan semua komponen masyarakat secara aktif melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas diri, tentunya hal tersebut dapat berkontribusi bagi peningkatan daya saing negara. Walau tentunya peran Pemerintah akan sangat signifikan bagi hal ini, terlebih bila terkait dengan kebijakan dan peraturan. Semoga dengan keaktifan seluruh komponen masyarkat, Pemerintah dapat termotivasi untuk ikut mendukung dan mendorong iklim yang lebih kondusif bagi peningkatan kemampuan bangsa untuk dapat berkompetisi dan berprestasi di kancah global.
Oleh: Guntur Tri Hariyanto
0 comments:
Post a Comment