Kinerja Emiten Batu Bara Masih akan Lemah
Emiten batu bara telah mengalami tekanan paling tidak sejak Juni 2012 ketika harga batu bara (Newcastle) mulai berada di bawah USD90/MT. Harga batu bara telah melemah lebih dari setengahnya dibandingkan harga tertinggi di 2011, bahkan telah berada di bawah USD70/MT sejak bulan Agustus 2014. Rendahnya harga batu bara telah menyebabkan indeks pertambangan terdiskon sekitar 60% dibandingkan dengan IHSG terhitung sejak awal 2012.
Anjloknya harga batu bara terutama disebabkan oleh melemahnya permintaan seiring dengan perlambatan ekonomi global seperti di Tiongkok dan Eropa serta terjadinya kelebihan pasokan. Booming komoditas global telah mendorong pelaku industri melakukan perluasan kapasitas produksi. Selain itu, persaingan dari sumber energi yang lebih bersih seperti keberhasilan pengembangan shale gas di AS dan semakin gencarnya isu lingkungan yang masuk ke dalam kebijakan berbagai pemerintahan, seperti di Tiongkok dan AS, semakin menekan permintaan akan batu bara.
Kondisi Industri Batu bara Global Belum Membaik
Meskipun batu bara masih mendominasi sekitar 40% pasar bahan bakar pembangkit listrik global, diperkirakan pertumbuhan permintaannya akan turun. International Energy Agency mengestimasi permintaan batu bara hanya akan tumbuh rata-rata 2,3% per tahun dalam lima tahun hingga 2018, melemah dibandingkan rata-rata pertumbuhan aktual 2007-2012 (3,4%).
Harapan pertumbuhan permintaan datang dari negara-negara berkembang Asia, seperti di kawasan Asia Tenggara yang membutuhkan energi listrik semakin besar seiring dengan kemajuan ekonominya. Juga dari India yang diperkirakan akan menggantikan Tiongkok sebagai pengimpor batu bara terbesar dunia. Impor tahunan India diperkirakan akan mencapai 180 juta ton di 2015 dan 300 juta ton di 2020 seiring dengan peningkatan kapasitas pembangkit listrik batu bara.
Permintaan dari India sudah mengalami lonjakan yang didorong oleh keputusan Mahkamah Agung negara itu yang telah membatalkan izin 214 tambang batu bara. Per akhir September, 35% pembangkit listrik batu bara India memiliki inventori yang sangat kritis yang hanya cukup untuk cadangan kurang dari 1 minggu.
Meski demikian, kami perkirakan pasokan global masih akan tetap tinggi terutama dari Australia dan Indonesia. Produsen batu bara Australia terkendala oleh fixed cost yang tinggi karena perjanjian sewa pelabuhan dan jalur kereta yang perlu tetap dibayar meskipun tambang telah ditutup. Sementara itu, meskipun pemerintah Indonesia telah melakukan usaha penertiban penambang ilegal dan pembatasan ekspor, ekspor dari Indonesia diperkirakan tetap akan tinggi.
Selain itu, meskipun pemerintah Tiongkok berupaya untuk melakukan pengurangan produksi domestik sebesar 150 juta ton hingga akhir tahun, tetapi impor dibatasi hingga 40 juta ton dan memberlakukan pajak impor sebesar 3%-6%. Kondisi tersebut memberikan ancaman terhadap pengurangan penyerapan pasokan global.
Harapan dari Permintaan Domestik
Kinerja emiten batu bara secara umum mengalami penurunan penjualan yang terjadi sejak 2013 dan penurunan marjin laba yang signifikan, bahkan sebagian ada yang mengalami marjin laba bersih negatif. Memperhatikan perkembangan terakhir, kami menilai prospek emiten batu bara masih akan lemah hingga beberapa waktu ke depan.
Dengan masuknya musim dingin di negara-negara bagian utara, permintaan dan harga batu bara diperkirakan akan meningkat. Pelemahan Rupiah dan ekspektasi kenaikan harga menjadi harapan bagi produsen batu bara, namun sepertinya akan terbatasi oleh melemahnya harga minyak dunia belakangan ini.
Dari dalam negeri ada harapan dari naiknya permintaan terutama dari Perusahan Listrik Negara. Kebutuhan batu bara untuk sektor kelistrikan hingga tahun 2017 diperkirakan akan mencapai 100 juta ton per tahun, tahun ini sekitar 74 juta ton. Hal ini didorong oleh bertambahnya jumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang ditargetkan bertambah sebesar 35 ribu MW dalam 10 tahun ke depan. Oleh karenannya, produsen yang memiliki paparan penjualan domestik yang lebih besar sepertinya akan lebih disukai oleh investor.
Guntur Tri Hariyanto, CSA
PEFINDO Newsletter, November 2014
Labels:
Coal
0 comments:
Post a Comment